Menurut Luxemburg,
sebenarnya pertalian antara ilmu bahasa dan ilmu sastra sudah ada dalam teori
tentang “retirika” pada zaman Romawi Kuno. Retorika diartikan sebagai ilmu
mengenaai penuturan baik, seni mengatakan sesuatu secara tepat, yang banyak
dipakai oleh kalangan orator, eksekutif, politikus dalam usahanya untuk
menyakinkan massa. Pada akhir zaman Romawi keadaan polotik berubah sehingga
retorika kehilangan fungsi politiknya. Retorika dianggap ilmu tersendiri, yaitu
semacam ilmu kemampuan berbahasa. Di lain pihak, retorika dipakai sebagai
sarana dalam pengungkapan teks-teks sastra. Meskipun dalam hal ini, penerapan
retorika terbatas pada teori mengenai pemakaian bahasa yang indah-indah saja,
misalnya tentang lambing bahasa, ungkapan, pribahasa, dan gaya bahasa.
Di Indonesia, sampai pada zaman Balai Pustaka, penggunaan
retorika sebagai sarana pengungkapan teks-teks sastra masih terasa mengutamakan
segi keindahan bahasa. Penggunaan bahasa kasar, kotor, urakan, tidak lazim, dan
sebagainya dalam teks sastra sedapat mungkin dihindari.
Dalam karya sastra, bahasa bukan hanya merupakan sastra
komunikasi belaka, tetapi lebih dari itu bahasa juga merupakan sarana untuk
mencapai nilai estetis. Oleh sebab itu, bahasa kaya sastra selain bersifat
komunikatif seperti bahasa sehari-hari, juga mempunyai beberapa sifat yang
berbeda dengan bahhasa sehari-hari maupun bahasa dalam karangan ilmiah..
Berberapa sifat yang membedakan bahasa karya sastra dengan bahasa sehari-hari
atau bahasa karangan ilmiah adalah:
a. Bahasa
sehari-hari atau bahasa karangan ilmiah bersifat denotatif artinya bahasa yang hanya menunjuk pada pengertian
primer seperti yang umum terdapat dalam kamus.
Contoh: bunga=bunga, namun suatu bagian
suatu tumbuhan, misalnya bunga mawar, bunga melati, dan lain-lain.
b. Bahasa
sastra bersifat, antara lain:
a) Konotatif
Konotatif artinya selain bermakna
denotative, maknanya sengaja ditautkan dengan pengertian lain, diberi atau
ditambah sehingga mempunyai kemungkinan banyak tafsiran, makna ganda, penuh
homonym, dan diresapi asosiasi. Satu kata dalam bahasa sastra akan
mengasosiasikan pikiran kita kepada kejadian yang pernah, sedang, atau akan
berlaku dalam bayangan pikiran.
Contoh: senja= menggambarkan kemurungan,
ketuaan, kemuraman, keterlambatan, dan kematian.
b) Ekspresif
Ekspresif artinya mempunyai kemampuan
mengungkapkan jiwa, perasaan, gagasan pengarang.
Contoh: Sendiri
adalah kegelisahan
Gelap
dan pekat kudekap tanpa mengerti
Dua baris sajak itu sudah cukup untuk
mengungkapkan apa yang dirasakan oleh pengarang bahwa sendiri itu benar-benar
tidak menyenangkan, menimbulkan rasa gelisah, resah, sedih, sepi, kesepian,
bingung, serba salah, dan lain-lain.
c) Sugestif
Sugestif artinya secara sadar atau
tidak, langsung atau tidak, bahasa maupun menyarankan , mempengaruhi
jiwa/perasaan/asosiasi pembaca/pendengar.
Contoh: Bedah
perutnya masih setan ia. (Rendra: BTAK)
Meskipun perutnya sudah terluka parah tetapi masih
mengamuk seperti setan. Kata bedah perut member sugesti betapa ngerinya luka
yang diderita. Kata setan member sugesti lupa diri.
Bertolak dari kenyataan itu, sudah tentu diperlukan
sekali bagi pembaca dan pengarang kemampuan atau penguasaan bahasa
sebaik-baiknya untuk dapat memahami dan mencipta suatu karya sastra. Seperti
yang dikatakan Teew bahwa untuk dapat memahami karya diperlukan pengetahuan
tentang system kode budaya dan system kode khas sastra yang cukup rumit dan
aneka ragam. Misalnya untuk memahami sastra Jawa, maka sekurang-kurangnya harus
menguasai kaidah-kaidah bahasa Jawa, mencakup kosa katanya, tata kalimatnya,
tata bahasanya, system lambing, ungkapan, pribahasa, dan sebagainya.
Menurut Hadi WM, sastrawan dan pembaca perlu bersikap
kreatif dalam menghadapi bahasa sastra, dan perlu bersikap kritis terhadap
penggunaan bahasa sehari-hari, yang mungkin telah mengalami proses pemiskinan
dan pembekuan. Dalam situasi sehari-hari bahasa adalah alat komunikasi apa
saja, pengetahuan, pemikiran, angan-angan, daya khayal, pengertian-pengertian
isyarat, perasaan, keinginan, dan seterusnya. Rangkaian yang berlangsung dalam
jiwa manusia itulah yang dimuat dalam bahasa dengan sekian ratus perlambangan
yang berupa kata kata atau kalimat-kalimat.
mahasiswa undip bukan mbk ?
BalasHapusthanks kak :) sangat membantu tugas saya :))
BalasHapus