Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Mei 2012

SASTRA ADALAH KARYA INTELEKTUAL


1.      Macam-macam Karya Sastra
1)      Puisi adalah ragam sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait, suatu tulisan yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; sajak.

2)      Drama adalah komposisi syair atau prosa yg diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yg dipentaskan.

3)      Roman adalah karangan prosa yg melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing, lebih banyak membawa sifat-sifat zamannya pada drama atau puisi.

4)      Cerpen adalah cerita pendek (kurang dr 10.000 kata) yg memberikan kesan tunggal yg dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh disatu situasi (pada suatu ketika).

5)      Hikayat adalah karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yg berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misal: Hang Tuah, Perang Palembang, Seribu Satu Malam

2.      Fungsi Sastra

Dalam berbagai kesempatan banyak pihak memandang sastra secara kurang memadai. Sebagai contoh, banyak orang mengatakan sastra sebagai karya yang tidak serius entah novel, puisi, cerita pendek, atau drama. Bahkan, karya sastra terutama puisi, dianggap sebagai karya lamunan atau khayalan. Maka dari itu, karya sastra bermutu hanya dapat diciptakan oleh seorang yang memiliki tingkat intelektual yang memadai dapat dipastikan tidak mampu menghasilkan karya sastra yang bermutu. Sejak lama sastra diakui sebagai media membangun kesadaran. Bahkan, sastra diyakini memenuhi fungsi hiburan dan edukasi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media penamaan nilai-nilai berorientasi terhadap pengembangan kehidupan seseorang, masyarakat, dan bangsa. Sastra mengandung tuntunan artinya karya sastra memberikan  penawaran nilai atau pemikiran yang diharapkan mengembangkan wawasan kepada pembaca. Sementara itu, sastra sebagai huburan karena sastra memenuhi fungsi memberikan penyegaran. Untaian kata yang dirangkai dengan keindahan bahasa mampu menyegarkan pikiran dan perasaan pembacanya. Sastra membangun kesadaran sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak lama.
            Sastra, misalnya puisi, sebagai media penyegaran terhadap kehidupan politik dan birokrasi begi pembaca. Sebagai media penyegaran, sastra sekaligus membentuk atau membangun kesadaran pada diri pembaca. Sebagai missal, seorang birokrat sering kali melenceng dari logika yang memadai. Dewasa ini kita melihat banyak birokrat yang menyalahkan wewenamg, terutama dalam bidang pemerintahan dan material. Hampir setiap hari media menyuguhkan informasi birokrat yang berurusan dengan lembaga peradilan.

3.      Manfaat Karya Sastra
Dalam membaca karya sastra, kita dapat menemukan manfaat-manfaat. Beberapa diantaranya adalah:
1)      Karya sastra besar memberi kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup.
2)      . Karya sastra memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Jadi hiburan yang diberikan adalah hiburan spiritual dan intelektual yang menurut banyak orang kadarnya lebih tinggi daripada kebahagiaan badani.
3)      Karya sastra besar itu karya seni dan memenuhi kebutuhan naluri manusia terhadap keindahan. keindahan adalah kodrat manusia.
4)      Karya sastra yang besar memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui.
5)      Membaca karya sastra besar menolong menjadikan pembacanya menusia berbudaya. Maksudnya manusia yang responsif/peka/bereaksi terhadap hal-hal yang luhur, yang baik dalam hidup ini.

4.      Sastra itu Karya Cerdas dan Harus Dipahami secara Cerdas
            Msyarakat sastra termasuk kalangan akademis sastra tidak boleh memandang atau mengatakan bahwa sastra itu hasil khayalan atau lamunan. Sastra sekali lagi harus dipandang sebagai karya intelektual atau karya cerdas. Sejak masa awal (sastra lama) hingga sastra modern, karya sastra di Indonesia mencerminkan hasil karya intelektual. Karya sastra Indonesia pada masa awal lahir dari para intelektual pada masa itu. Pengarang seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli dan banyak lagi mereka adalah salah satu tokoh intelektual ketika itu. Mereka adalah generasi baru hasil pendidikan modern sebagai dampak dari pendidikan kolonial belanda.
            Karya sastra yang cerdas hanya dapat dipahami oleh pembaca yang cerdas. Karya cerdas akan menjadi dangkal dan kering sewaktu dibaca dengan tingkat intelektual pembaca yang rendah.












SEJARAH SASTRA


Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
***
Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
***
Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Maka kita dapat melihat puisi-puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan nafas sufisme dan kosa kata Melayu kuno (Timur). Ia juga banyak menerjemahkan khazanah kesusastraan Timur, khasnya India. Baghawad Gita dan beberapa terjemahan puisi Tiongkok adalah satu contoh usahanya memperkenalkan khazanah kesusastraan Timur itu. Berbeda dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berteriak lantang menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke Barat. Hanya dengan itu, menurutnya, bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan. Salah satu novel Sutan Takdir Alisjahbana yang tampak mengusung gagasannya mengenai semangat Barat adalah Layar Terkembang.
Pada masa itu, puisi Indonesia sudah mulai jauh meninggalkangaya pengucapan pantun atau syair. Masuknya pengaruh romantisisme Barat –melalui Angkatan `80 (De Tachtiger Beweging) Belanda— diterima dengan segala penyesuaiannya. Puisi tidak hanya menjadi alat mengangkat dunia ideal, tetapi juga menjadi sarana penyadaran akan kebesaran masa lalu. Romantisisme Pujangga Baru lahir bukan karena kegelisahan atas merosotnya nilai-nilai rohani, spiritualitas, dan terjadinya eksplorasi kekayaan alam, melainkan sekadar mencari bentuk pengucapan baru dalam puisi Indonesia.
***
Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.

UNSUR BAHASA DALAM KARYA SASTRA


Menurut Luxemburg, sebenarnya pertalian antara ilmu bahasa dan ilmu sastra sudah ada dalam teori tentang “retirika” pada zaman Romawi Kuno. Retorika diartikan sebagai ilmu mengenaai penuturan baik, seni mengatakan sesuatu secara tepat, yang banyak dipakai oleh kalangan orator, eksekutif, politikus dalam usahanya untuk menyakinkan massa. Pada akhir zaman Romawi keadaan polotik berubah sehingga retorika kehilangan fungsi politiknya. Retorika dianggap ilmu tersendiri, yaitu semacam ilmu kemampuan berbahasa. Di lain pihak, retorika dipakai sebagai sarana dalam pengungkapan teks-teks sastra. Meskipun dalam hal ini, penerapan retorika terbatas pada teori mengenai pemakaian bahasa yang indah-indah saja, misalnya tentang lambing bahasa, ungkapan, pribahasa, dan gaya bahasa.
            Di Indonesia, sampai pada zaman Balai Pustaka, penggunaan retorika sebagai sarana pengungkapan teks-teks sastra masih terasa mengutamakan segi keindahan bahasa. Penggunaan bahasa kasar, kotor, urakan, tidak lazim, dan sebagainya dalam teks sastra sedapat mungkin dihindari.
            Dalam karya sastra, bahasa bukan hanya merupakan sastra komunikasi belaka, tetapi lebih dari itu bahasa juga merupakan sarana untuk mencapai nilai estetis. Oleh sebab itu, bahasa kaya sastra selain bersifat komunikatif seperti bahasa sehari-hari, juga mempunyai beberapa sifat yang berbeda dengan bahhasa sehari-hari maupun bahasa dalam karangan ilmiah.. Berberapa sifat yang membedakan bahasa karya sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa karangan ilmiah adalah:
a.       Bahasa sehari-hari atau bahasa karangan ilmiah bersifat denotatif artinya  bahasa yang hanya menunjuk pada pengertian primer seperti yang umum terdapat dalam kamus.
Contoh: bunga=bunga, namun suatu bagian suatu tumbuhan, misalnya bunga mawar, bunga melati, dan lain-lain.
b.      Bahasa sastra bersifat, antara lain:
a)      Konotatif
Konotatif artinya selain bermakna denotative, maknanya sengaja ditautkan dengan pengertian lain, diberi atau ditambah sehingga mempunyai kemungkinan banyak tafsiran, makna ganda, penuh homonym, dan diresapi asosiasi. Satu kata dalam bahasa sastra akan mengasosiasikan pikiran kita kepada kejadian yang pernah, sedang, atau akan berlaku dalam bayangan pikiran.
Contoh: senja= menggambarkan kemurungan, ketuaan, kemuraman, keterlambatan, dan kematian.

b)      Ekspresif
Ekspresif artinya mempunyai kemampuan mengungkapkan jiwa, perasaan, gagasan pengarang.
Contoh:     Sendiri adalah kegelisahan
                  Gelap dan pekat kudekap tanpa mengerti
Dua baris sajak itu sudah cukup untuk mengungkapkan apa yang dirasakan oleh pengarang bahwa sendiri itu benar-benar tidak menyenangkan, menimbulkan rasa gelisah, resah, sedih, sepi, kesepian, bingung, serba salah, dan lain-lain.

c)      Sugestif
Sugestif artinya secara sadar atau tidak, langsung atau tidak, bahasa maupun menyarankan , mempengaruhi jiwa/perasaan/asosiasi pembaca/pendengar.
Contoh:     Bedah perutnya masih setan ia. (Rendra: BTAK)
Meskipun perutnya sudah terluka parah tetapi masih mengamuk seperti setan. Kata bedah perut member sugesti betapa ngerinya luka yang diderita. Kata setan member sugesti lupa diri.
            Bertolak dari kenyataan itu, sudah tentu diperlukan sekali bagi pembaca dan pengarang kemampuan atau penguasaan bahasa sebaik-baiknya untuk dapat memahami dan mencipta suatu karya sastra. Seperti yang dikatakan Teew bahwa untuk dapat memahami karya diperlukan pengetahuan tentang system kode budaya dan system kode khas sastra yang cukup rumit dan aneka ragam. Misalnya untuk memahami sastra Jawa, maka sekurang-kurangnya harus menguasai kaidah-kaidah bahasa Jawa, mencakup kosa katanya, tata kalimatnya, tata bahasanya, system lambing, ungkapan, pribahasa, dan sebagainya.
            Menurut Hadi WM, sastrawan dan pembaca perlu bersikap kreatif dalam menghadapi bahasa sastra, dan perlu bersikap kritis terhadap penggunaan bahasa sehari-hari, yang mungkin telah mengalami proses pemiskinan dan pembekuan. Dalam situasi sehari-hari bahasa adalah alat komunikasi apa saja, pengetahuan, pemikiran, angan-angan, daya khayal, pengertian-pengertian isyarat, perasaan, keinginan, dan seterusnya. Rangkaian yang berlangsung dalam jiwa manusia itulah yang dimuat dalam bahasa dengan sekian ratus perlambangan yang berupa kata kata atau kalimat-kalimat.








ILMU SASTRA



A.    Bidang Ilmu Sastra

Ilmu sastra mencakup tiga bidang, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra.
1.      Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari teori kesusastraan, meliputi latar belakang sastra, istilah-istilah sastra, konsep sastra, prinsip-prinsip umum sastra, komposisi, genre, pendekatan, dan sebagainya.
2.      Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari atau menyusun perkembangan sastra dari awal hingga yang terakhir, mencakup sejarah lahirnya karya sastra, jenis-jenis sastra, perkembangan gaya, masalah periodisasi sastra, kronologi, perkembangan aliran0aliran sastra, dan sebagainya.
3.       Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari karya sastra dengan langsung memberikan pertimbangan baik buruk, kekurangan kelebihan, atau bernilai tidaknya sebuah karya sastra.
Tiga bidang ilmu sastra tersebut dalam penerapannya saling berkaitan, saling mengisi, dan melengkapi. Artinya, implementasi kritik sastra membutuhkan teori dan sejarah sastra, sejarah sastra membutuhkan teori dan kritik sastra, begitu pula teori sastra membutuhkan sejarah kritik sastra. Hal itu dapat dijelaskan sebagaimana uraina berikut.
1.      Bidang Kritik Sastra
Kritik sastra membutuhkan teori sastra. Untuk dapat memberikan kritik terhadap suatu karya sastra dengan tepat dan objektif antara lain dibutuhkan teori khas sastra, teori penilaian, teori pendekatan, teori jenis sastra, gaya, komposisi, struktur karya sastra, dan sebagainya. Misalnya, untuk memberikan kritik terhadap sebuah novel sekurang-kurangnya dibutuhkan teori cerita rekaan, baik teori struktur creita rekaan maupun aspek social cerita rekaan. Demikian juga kritik sastra membutuhkan sejarah sastra, misalnya untuk mengetahui orosinalitas sebuah karya sastra, pertalian, hubungan, atau perbandingannya dengan karya sastra lain.
2.      Bidang Sejarah Sastra
Sejarah sastra membutuhkan teori sastra. Untuk dapat menyusun sejarah kelahiran, pertumbuhan , dan perkembangan karya sastra yang akurat dan objektif dibutuhkan teori penggolongan karya sastra, perbedaan teori-teori sastra yang muncul dari waktu ke waktu. Sejarah sastra juga membutuhkan kritik sastra, sekurang-kurangnya membutuhkan hasil-hasil kritik sastra. Misalnya, suatu karya sasttra, sebuah peristiwa sastra atau seorang sastrawan tidak mungkin dicantumkan dalam rangkaian sejarah sastra jika tidak dinilai penting dan berdampak besar bagi kehidupan sastra secara keseluruhan atau apabila karya sastra itu tidak penting. Padahal untuk menentukan penting tidaknya atau bernilai tidaknya sebuah karya sastra dibutuhkan kritik sastra.
3.      Bidang Teori Sastra
Teori sastra jelas membutuhkan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya, teknik bercerita, dan misalnya untuk menyusun teori tentang angkatan, aliran, dan sebagainya perlu melihat perkembangan sastra secara keseluruhan.

B.     Genre Sastra
Ahli piker yang pertama meletakkan dasar teori genre adalah Aristoteles dalam tulisannya yang terkenal Poetica. Teori Aristoteles tentang jenis karya sastra didasarkan pada karya sastra Yunani klasik, tetapi menarik dari teori Aristoteles ini adalah bahwa ia cocok terapkan pada karya sastra lain di seluruh dunia.
Menurut Aristoteles, karya sastra berdasarkan rragam perwujudannya terdiri atas tiga macam, yaitu epik, lirik, dan drama. Epik adalah teks yang sebagian berisi deskripsi, dan sebagain lainnya berisi ujaran tokoh (cakapan). Epik ini biasanya disebut dengan prosa. Lirik adalah ungkapan ide atau perasaan pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah “aku” lirik, biasa yang biasa diebut penyair. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi perasaan pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh cakapan para tokoh. Kriteria drama yang membedakan dengan dua jenis karya sastra lainnya adalah hubungan manusia dunia ruang dan waktu.
Penelitian tentang genre sastra terus berkembang dari waktu ke waktu, dan seringkali tidak memuaskan karena pengertian-pengertian yang dirumuskan selalu saja bergeser dan mengalami perubahan. Hal itu disebabkan oleh selalu adanya perubahan-perubahan konsep tentang karya sastra. Namun demikian, meskipun konsep-konsep tentang karya sastra selalu berubah, tetapi objek studi sastra dapat dikatakan tetap sama, yaitu, prosa, puisi, dan drama. Perlu diketahui bahea seorang pengarang sastra, baik pengarang prosa, puisi maupun drama, selalu berusaha mengemukakan pembaruan-pembaruan dalam karyanya. Kadang-kadang mereka ingin menyimpang dari konvensi yang telah ada, karena memamng begitulah cirri karya sastra, yaitu selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.


KARYA SASTRA SEBAGAI ILMU



Karya sastra sebagai objek ilmu sastra tentu saja harus dipandang sebagaimana adanya, sesuai dengan kodratnya, dan merupakan objek empirik. Karya sastra tidak sekedar dibaca atau dinikmati, tetapi dipelajari melalui analisis tertentu. Sebagai objek empirik harus berdata dan berfakta sehingga dapat dirunut siapa yang terlibat di dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tertulis memperoleh perhatian lebih menonjol dibanding karya sastra lisan, sebab karya sastra tertulis memang lebih gampang dirunut (dilacak, ditangkap) sosoknya.  
Apabila seseorang ingin mempelajari karya sastra lisan, pada akhirnya juga harus sampai pada penulisan (transkripsi). Jadi, lebih jelas apabila teks-teks karya sastra tertulis saja yang akan banyak kita bicarakan dalam studi sastra ini. Akan tetapi perlu dicatat bahwa buku-buku karya sastra hanya tempat (wadah), sedang sosok sastranya harus ditangkap diluar buku yang bersangkutan. Sebagai contoh, roman Siti Nurbaya (Marah Rusli) dibukukan atau diterbitkan pertama kali tahun 1922, kemudian dicetak sesuai edisinya. Beberapa edisi itu mungkin berbeda jenis kertasnya, formatnya, tipe hurufnya, dan lain-lain, tetapi masing-masong menyajikan roman Siti Nurbaya yang sama. Apa yang ditangkap di luar buku itulah yang disebut sebagai teks karya sastra. Jadi, yang menjadi objek studi tentu saja bukan bukunya, melainkan teksnya, artinya bukan yang sekedar tertulis, melainkan apa yang terungkap oleh tulisan itu.

A.    Pengertian Istilah-Istilah dalam Sastra

Ada dua istilah penting yang berkaitan dengan sastra, yaitu bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya sastra, misalnya novel, puisi, cerita pendek, drama, dan lain-lain, sedang ilmu sastra mempunyai ciri-ciri keilmuan, yaitu objek, teori dan metode. Artinya, sastra dipakai sebagai perangkat teori yang dijadikan alat penelitian. Dapat dipakai sebagai penelitian, misalnya teori sasta, kritik sastra, dan sebagainya.
Selain dua pengertian itu masih ada pengertian lain, yaitu pengetahuan sastra. Pengetahuan sastra bersifat informatif , artinya sebagai informasi seputar teks-teks karya sastra yang berupa keterangan, penjelasan serta fakta-fakta dan data-data tentang suatu teks karya sastra atau hal-hal lain berhubungan dengan sastra. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah abstraksi kegiatan yang menunjukkan tiap-tiap pengertian tersebut:
1.      Kalau seseorang mencipta puisi, novel, cerpen, atau kalau orang berbicara tentang karya-karya itu berarti ia berurusan dengan karya sastra, karya seni.
2.      Kalau seseorang berpikir, berbicara atau belajar tentang objek-objek sastra, misalnya struktur karya sastra, metode atau pendekatan, teori, pemahaman, penilaian, penelitian, teknik analisis sastra, kronologi perkembangan sastra, dan sebagainya berarti ia berurusan dengan ilmu sastra.
3.      Kalau seseorang sekedar tahu tentang suatu teks karya sastra, misalnya judulnya, isinya, jumlah halamannya, pengarangnya, penerbitnya, harganya, gambar covernya, dan lain-lain, bahkan dalam membacapun hanya sekedar mambaca tanpa perlu referensi apapun berarti ia berurusan dengan pengetahuan sastra.
Dalam kerangka pembicaraan teori sastra tiga pengertian tersebut tidak pernah dapat saling dilepaskan, karena tiga-tiganya merupakan pengertian dasar sastra. Namun demikian, apabila yang digeluti dalam bidang keilmuan, maka tentunya banyak berbicara tentang ilmu sastra. Karya sastra sebagai karya seni dapat dimanfaatkan sebagai objek, sedang pengetahuan sastra dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan.
Teori sastra merupakan dasar dari ilmu-ilmu sastra yang berupa prinsip-prinsip umum sastra. Teori sastra merupakan dasar-dasar umum dari sejarah sastra, kritik sastra, apresiasi sastra, perbandingan sastra, sosiologi sastra, kajian cerita rekaan, kajian puisi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, yang dibicarakan dalam teori sastra tetu saja adalah prinsip-prinsip umum mengenai definisi ilmu sastra, pengertian sastra, hakikat dan fungsi karya sastra, struktur karya sastra, segi intrinsic sastra dan eksentrik sastra dan lain-lain.